Kamis, 05 Februari 2009

Knowledge Officer


Setiap melakukan perjalanan kemanapun, atau memasuki organisasi manapun, selalu saja saya usahakan untuk membuka mata, telinga dan penciuman lebar-lebar. Satu hal yang sulit disangkal oleh siapapun, di setiap daerah, perusahaan dan negara yang lebih maju, pengetahuan menghadirkan sentuhan yang lebih intensif dan lebih ekstensif.

Coba bandingkan Jakarta dengan kota lain di Indonesia. Atau bandingkan Jakarta dengan kota-kota yang lebih maju. Dari segi intensitas penggunaan teknologi (terutama teknologi informasi), seberapa cepat pengetahuan baru dipertukarkan, seberapa efisien barang dan jasa dihasilkan, sampai dengan topik-topik pembicaraan orang-orangnya, terasa sekali beda sentuhan pengetahuannya.

Semua ini seperti mau bertutur ke kita, bahwa kaidah dalam bentuk customer is the king, sedang digeser secara perlahan namun meyakinkan oleh prinsip knowledge is the king. Sahabat saya Kafi Kurnia di sebuah kesempatan sama-sama jadi pembicara seminar di Jakarta, memperkuat pergeseran terakhir dengan menyebut apa yang ia sebut dengan technological cycle. Sedemikian cepat siklus perubahan dalam teknologi, dan sedemikian besar pengaruhnya, sehingga mesti diperhatikan dan dicermati.

Belum lagi kalau kita membandingkan antara manusia yang buta pengetahuan dengan manusia yang melek pengetahuan. Sebagaimana ditunjukkan oleh anak-anak muda yang mulai banyak memimpin perusahaan-perusahaan prestisius, hampir tidak ada diantara mereka yang buta pengetahuan. Apa lagi buta teknologi informasi. Malah sebaliknya, mereka menggunakan knowledge resources secara amat mengagumkan. Bill Gates, Kenji Eno, dan sejumlah manusia sejenis hanyalah sebagian contoh dalam hal ini.

Lebih dari sekadar membawa kecenderungan baru, banyak pembalikan-pembalikan yang terjadi dalam zaman knowledge intensive ini. Kalau dulu anak yang belajar ke orang tua, saya malah belajar banyak dari putera saya yang baru duduk di kelas satu SMP, namun pengetahuan internetnya amat mengagumkan. Tadinya, saya fikir hanya saya yang demikian bodohnya sampai harus belajar pada anak ingusan. Sebagaimana ditulis majalah Harvard Business Review edisi November-Desember 2000, ada semacam undangan bahkan keharusan bagi eksekutif berumur untuk belajar dari anak-anak muda.

Coba perhatikan dua komentar yang ditulis oleh dua tokoh yang sama-sama mengajar di Harvard ini. Steven Luria Ablon menulis : 'Real progress occurs when people are open to learning from mentors, regardless of their age'. Atau, belajar tidak mengenal umur. Entah dari anak ingusan sekalipun, kita mesti belajar. Monica C. Higgins malah lebih tegas lagi : 'In today's information based economy, knowledge may be the king, but it's the sharing that takes place between young and old that is essential'. Dengan kata lain, disamping pengetahuan itu raja, namun yang penting adalah bagaimana pengetahuan itu dipertukarkan.

Ini semua membawa konsekwensi besar tentang bagaimana pengetahuan itu sebaiknya disebarkan dan dibagi-bagi. Sudah saatnya untuk difikirkan menciptakan posisi Chief Knowledge Officer (CKO). Disamping bertugas membuat orang-orang menjadi kaya akan pengetahuan, memfasilitasi pengetahuan tadi agar tersebar secara merata, dan yang lebih penting menjadikannya based theory.

Bila Anda punya pendekatan lain, it's more than welcome jika ingin berbagi dalam hal ini. Bagi saya, pekerjaan utama seorang CKO adalah mengelola intellectual accounting. Langkah pertama dalam hal ini adalah mendata kembali kekayaan intelektual organisasi. Kerangkanya ada banyak. Dan yang kerap saya pakai adalah kerangka tidak tahu, tahu, trampil, sistimatis dan kreatif. Kegiatan utama intellectual accounting adalah mentranformasikan organisasi ke tingkatan yang lebih tinggi, bila mana perlu sampai tingkat kreatif. Sebagai catatan, sudah tentu tidak semua orang harus kreatif.

Tahapan kedua, adalah tahapan pencarian, penyebaran, dan penerapan pengetahuan. Tugas seperti ini, di banyak tempat sering direduksi ke dalam tugas training and development. Lebih direduksi lagi, ia disederhanakan sampai tingkatan hanya mengadministrasikan kegiatan pelatihan saja.

Belajar dari semua ini, mungkin sudah saatnya melirik sebuah bidang yang disebut dengan knowing-doing gap. Trust, kesempatan untuk mencoba, cross functional career, hanyalah sebagian hal yang masuk ke dalam agenda untuk mengurangi kesenjangan terakhir.

Tahap ketiga, baru membuat pusat-pusat kreativitas. Di mana ukurannya bukan lagi ROI (return on investment) melainkan ROI (return on imagination). Dewanya tidak lagi keteraturan dan kepatuhan, melainkan kecermatan untuk merangkai dan mengelola perbedaan. Bahasa yang digunakan bukan lagi management, tetapi mencakup juga mismanagement. Gurunya tidak lagi dimonopoli orang-orang tua dengan pengalaman yang mengkarat, tetapi juga anak-anak ingusan dengan pikiran segar. Gengsi belajar dari anak ingusan memang sudah terkubur bersama masa lalu.

Saya tidak berpretensi untuk mendikte Anda dalam hal ini. Tulisan ini mungkin hanya hadir dengan misi sebagai pembanding saja. Persis seperti membaca e-mail setiap harinya, setelah dibaca ya segera hapus tidak hanya pada in box, tetapi juga dihapus dari posisi trash. Bukankah kegiatan meniru dan menghafal mudah sekali membuat kepala kehilangan kesegaran dan kejernihannya ?

 

 

By: Dedi Prama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar